BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengembangkan potensi diri peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat ,bangsa dan Negara. Hal tersebut sesuai dengan pengertian pendidikan menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (1) yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, sebagai langkah awal kita harus mengetahui potensi-potensi, kebutuhan-kebutuhan dan hakikat dari peserta didik itu sendiri.Oleh karena itu, dalam kesempatan sekarang ini, pemakalah akan mencoba membahas hakikat, etika, dan kebutuhan dari peserta didik.
B. Tujuan Penyusunan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
2. Memperdalam pemahaman kita tentang Hakikat Peserta Didik.
3. Melatih mahasiswa yang kreatif dan edukatif serta mampu menyajikan materi perkuliahan melalui pembuatan makalah.
C. Sistematika Penyusunan
Sistematika penyusunan makalah ini terdiri dari:
1. Bab I yang terdiri dari pendahuluan ( latar belakang, tujuan penyusunan dan sistematika penyusunan )
2. Bab II, terdiri dari pembahasan (Hakikat dan Kepribadian Peserta Didik, Etika dan Kebutuhan Peserta Didik )
3. Kesimpulan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat dan Kepribadian Peserta Didik
Dalam bahasa Indonesia ada tiga sebutan untu pelajar, yaitu murid, anak didik, dan peserta didik. Bahkan ada salah satu tesis magister mengenalkan istilah baru yaitu “dinidik” tetapi kelihatannya istilah ini amat tidak umum bahkan belum banyak orang mendengarnya.
1. Sebutan murid. Bersipat umum, sama umumnya dengan sebutan anak didik dan peserta didik. Istilah murid kelihatannya khas pengaruh agama Islam. Di dalam islam istilah ini diperkenalkan oleh kalangan shufi. Istilah murid dalam tasawuf mengandung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Allah swt (Tuhan). Yang paling menonjol dalam istilah ini adalah kepatuhan murid kepada guru (mursyid)-nya. Patuh disini adalah dalam arti tidak membantah sama sekali. Hubungan guru (mursyid) dan murid adalah hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subjek (mursyid) ke objek (murid). Dalam ilmu oendidikan hal seperti ini disebut pengajaran berpusat pada guru.
2. Sebutan anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Faktor kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Sebutan anak didik agaknya pengajaran masih berpusat pada guru, tetapi tidak seketat guru kepada murid seperti diatas.
3. Sebutan peserta didik adalah sebutan yang boleh dibilang paling mutakhir. Istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
Dalam pendidikan, istilah mana sebenarnya yang paling tepat ? Bpk Prof. Ahmad tafsir berpendapat bahwa istilah yang paling tepat adalah murid. Bukan anak didik dan bukan pula peserta didik. Karena menurut beliau istilah tersebut memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan dua istilah lainnya.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik adalah orang yang belum dewasa yang memiliki berbagai potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan. Disini peserta didik dalam tinjauan Filsafat Pendidikan Islam adalah makhluk Allah yang terdiri dari jasmani dan rohani yang belum mencapai taraf kematangan, baik dari aspek fisik, mental, intelektual, maupun psikologisnya. Oleh karena itu ia senantiasa memerlukan bantuan (bimbingan) orang lain agar dapat mengembangkan semua aspek tersebut secara optimal melalui proses pendidikan. Potensi dasar yang dimiliki peserta didik, kiranya tidak akan dapat berkembang tanpa melalui pendidikan, karena Islam memandang bahwa setiap anak yang lahir dibekali dengan berbagai potensi (fitrah), lingkunganlah (orang tua, sekolah, masyarakat, dll) yang dapat mengantarkan ke arah mana potensi itu akan berkembang (positif atau negatif).
Dalam prespektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam:
1. Anak didik atau peserta didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didik di dalam keluarga;
2. Anak didik atau peserta didik adalah semua yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, seperti di sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim, dan sejenisnya, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu sekali atau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat dipandang sebagai anak didik;
3. Anak didik atau peserta didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai al yang berkaitan dengan proses kependidikan.
Bagi para pendidik, peserta didik atau anak didik adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, para pendidik bertanggung jawab melihat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan anak didiknya, terutama akhlaknya. Para pendidik berkewajiban menjaga nama baik lembaga pendidikan dengan mengajarkan pendidikan akhlak kepada peserta didiknya, para pendidik membina peserta didiknya dengan materi pengetahuan yang sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yang dimaksudkan.
Anak didik atau peserta didik dapat dilihat dari beberapa tingkatan, misalnya anak didik dilihat dari usia, sejak anak didik di taman kanak-kanak, tingkat SLTP-SMA, dan mahasiswa yang berkaitan dengan usia anak didik. Demikian pula, anak didik dapat dilihat dari perkembangan psikologisnya, misalnya perkembangan psikologis anak didik usia 12-15 tahun di SLTP berbeda dengan perkembangan psikologis anak didik usia 16-19 tahun di SMA, demikian pula perkembangan psikologis anak didik di perguruan tinggi, bahkan perkembangan cara berpikirnya pun berubah menuju kedewasaan berpikir, terutama dalam menyusun cara berpikir logis dan sistematis.
Anak didik merupakan subjek utama dalam pendidikan. Anak didik dituntut hidup mandiri, mampu menyelesaikan tugas-tugas pendidikan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Tugas utama anak didik adalah belajar, menuntut ilmu dan mempraktikkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam psikologi belajar, sebagaimana dikemukakan oleh Syaiful Bahri Djamarah (2002:46) anak didik yang mengerti tugasnya dalam belajar adalah anak didik yang konsentrasinya penuh dalam memerhatikan pelajaran.
Keberhasialn belajar anak didik ditentukan tiga hal yang mendasar, yaitu:
1. Sikap anak yang mencintai ilmu dan para pendidiknya;
2. Sikap anak didik yang selalu konsentrasi dalam belajar;
3. Tumbuhnya sikap mental yang dewasa dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan.
Pendekatan filosofis dalam memahami karakteristikanak didik adalah tiga perbedaan anak didik yang dihadapi. Tiga perbedaan tersebut adalah:
1. Perbedaan biologis
2. Perbedaan intelektual
3. Perbedaan psikologis
Peserta didik merupakan bahan mentah (raw material) dalam proses transformasi dalam pendidikan. Dalam membicarakan peserta didik, ada tiga hal yang penting yang harus diperhatiakn oleh pendidik, yaitu : (1) potensi peserta didik, (2) kebutuhan peserta didik, (3) sifat-sifat peserta didik.
1. Potensi peserta didik
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan tujuan. Hal ini tergambar dalam dialog Allah dan malaikat diawal penciptaannya. Tujuan penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah sebagai kholifah. Dalam tugas ini, manusia tidak mungkin mampu melaksanakan tugas kekholifahannya, tanpa dibekali dengan potensi yang memungkinkan dirinya mengemabn tugas tersebut.
Dalam prespektif Islam, potensi atau fitrah dapat dipahami sebagai kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu:
a. Hidayah Wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi;
b. Hidayah Hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah;
c. Hidayah Aqliyah yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekholifahannya.
d. Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberiakn kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah.
e. Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhoan Allah.
Quraisy Shihab berpendapat bahwa untuk menyukseskan tugas-tugas kekhalifahan di muka bumi, Allah memperlengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara lain:
a. Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT : “ Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya “ ( QS. 2:31 ).
b. Ditundukan bumi, langit, dan segala isinya, binatang-binatang, planet dan sebagainya oleh Allah kepada manusia ( QS. 45:12-13 ).
c. Potensi akal pikiran serta panca indera ( QS. 67:23 ).
d. Kekuatan positif untuk merobah corak kehidupan manusia ( QS. 13:11 ).
Disamping potensi yang bersifat di atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat negative yang merupakan kelemahan manusia, yaitu : pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan syetan. Hal ini digambarkan dengan upaya syetan menggoda Adam dan Hawa, sehingga keduanya melupakan peringatan Allah untuk tidak mendekati pohon terlarang ( QS. 20:15-27 . Kedua, banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan manusia.
Karena adanya potensi yang positif dan negatif serta ketrbatasan manusia, maka Allah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi agar ia mampu mengetahui hakikat dan petunjuk-petunjuk Allah. Firman Allah SWT:
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “.
Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di atas member pengertian bahwa manusia ciptaan Allah dengan naluri beragama tauhid, yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya, Hasan Langgulung member pengertian fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua kemampuan manusia yang memerlukan penempaan lebih lanjut dan lingkungan insan maupun non insane untuk bisa berkembang. Untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain yaitu proses pendidikan.
B. Etika dan Kebutuhan Peserta Didik
1. Etika Peserta Didik
Sa`id Hawwa (1999) menjelaskan adab dan tugas murid (yang dapat juga disebut sifat-sifat murid) yaitu sebagai berikut.
Pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya.
Kedua, murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena itu akan melengahkannya dari menuntut ilmu.
Ketiga, tidak sombong terhadap orang berilmu, tidak sewenang-wenang terhadap guru; harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter.
Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus bisa menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiah antarmazhab.
Kelima, penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya.
Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus.
Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya.
Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya.
Dari sekian adab dan tugas murid yang dijelaskan oleh Sa`id Hawwa tersebut di atas ada dua hal yang menjadi inti, yaitu pertama, murid harus selalu berusaha menyucikan jiwanya, dan kedua, murid harus patuh pada guru.
Dalam uraian Hawwa tersebut konsep yang ada pada istilah anak didik, yaitu guru sayang pada anak didik seperti pada anaknya sendiri, sudah tercakup, dan itu lebih jelas lagi pada uraiannya tentang kewajiban guru. Konsep adab dan tugas murid dalam uraian Hawwa tersebut di atas adalah murid dalam konteks tasawuf. Sekalipun demikian konsep itu dapat juga diterima dalam konteks murid secara umum.
Konsep adab dan tugas murid dalam pendapat Hawwa itu dapat dibakukan untuk sebutan belajar di sekolah apapun dengan penambahan pada dua segi, yaitu pertama peran serta murid dalam pembelajaran diperhitungkan dan kedua daya kreatif murid harus dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan konsep sebagai berikut.
1. Istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, bukan anak didik atau peserta didik.
2. Istilah murid mencakup konsep berikut.
– Murid harus berusaha mensucikan batinnya;
– Murid harus menganggap bahwa belajar dan menysucikan batin itu adalah suatu bentuk ibadah;
– Murid berhak mendapatkan kasih sayang dari gurunya;
– Murid harus dikembangkan daya kreativitasnya dalam pembelajaran.
Dan pada intinya alasan pemilihan istilah “murid” karena istilah itu berisi konsep yang lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya manusia yang memiliki kemanusiaan yang tinggi.
2. Kebutuhan Peserta Didik
Semua hal yang sangat perlu juga diperhatikan oleh seorang pendidik dalam membimbing peserta didik adalah kebutuhan mereka. Al-Qussy membagi kebutuhan manusia dalam dua kebutuhan pokok yaitu:
a. Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya.
b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohaniah.

Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada enam macam yaitu:
a. Kebutuhan kasih sayang
b. Kebutuhan akan rasa aman
c. Kebutuhan akan rasa harga diri
d. Kebutuhan akan rasa bebas
e. Kebutuhan akan sukses
f. Kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan lain yang ada pada setiap manusia berakal.
Selanjutnya Law Head, membagi kebutuhan manusia sebagai berikut:
a. Kebutuhan jasamani, seperti makan, minum, bernafas, perlindungan, seksual, kesehatan, dan lain-lain.
b. Kebutuhan rohani, seperti kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia yang lebih luas (mengembalikan diri), mengaktualisasikan dirinya sendiri, dan lain-lain.
c. Kebutuhan yang menyangkut jasmani rohani, seperti istirahat, rekreasi, butuh supaya setiap potensi-potensi fisik dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar setiap usaha/pekerjaan sukses dan lian-lain.
d. Kebutuhan social, seperti supaya dapat diterima oleh teman-temannya secara wajar, supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dan dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpi-pemimpinnya, seperti kebutuhan untuk memperoleh prestasi dan posisi.
e. Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya (biasanya dirasakan lebih akhir) merupakan tuntutan rohani yang mendalam yaitu kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan terhadap agama.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang paling esensi adalah kebutuhan terhadap agama. Agama dibutuhkan manusia karena memerlukan orientasi dan objek pengabdian dalam hidupnya. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan agama. Oleh karena itu, para ahli menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang beragama “homo religious”.
Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa pada masa kanak-kanak pertama, mungkin si anak menanyakan tentang Tuhan (rupa-Nya, tempat-Nya, dan kekuasaan-Nya. Mulai umur lebih kurang tujuh tahun, pertanyaan anak-anak terhadap Tuhan telah berganti dengan cinta dan hormat. Hubungannya dipengaruhi oleh rasa percaya dan iman. Pada akhir masa anak-anak (10-12 tahun), fungsi Tuhan bagi anak telah meningkat. Bagi anak eksistensi Tuhan adalah zat penolong baginya dalam menolong dorongan jahat dan tidak baik dalam hatinya, serta melindungi yang lemah, terutama ketika mereka merasa lemah dan kekurangan. Gambaran Allah yang seperti itu akan menolong si anak dalam kesukaran dan penderitaan. Sementara pada umur remaja, kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi pada saat yang lain menjadi berkurang. Hal ini terlihat pada aktivitas ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Perasaannya kepada Tuhan tergantung pada perubahan emosi yang dialaminya. Kadang-kadang ia sangat membutuhkan Tuhan ketika ia menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa berdosa. Tapi kadang-kadang ia kurang membutuhkan Tuhan, ketika merasa senang dan gembira.
Dengan demikian, semua kebutuhan-kebutuhan peserta didik tersebut harus diperhatikan oleh setiap pendidik agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang mencapai kematangan psikis dan fisik sesuai dengan ajaran yang benar.
Pendidik hendaknya ikut memperhatikan pemenuhan kebutuhan psikologis peserta didik terhadap agama yang diyakini dan persoalan-persoalan lainnya yang terjadi pada dirinya. Bila hal ini dilakukan, gejolak peserta didik terhadap berbagai aktivitas negative akan mampu dihindari. Akan tetapi bila pendidik hanya melaksanakan sebatas tugasnya sebagai transformation of knowledge belaka, maka peserta didik akan mencari jawaban terhadap gejolak dirinya pada hal-hal yang terlarang, baik agama maupun moral.
3. Dasar-dasar Kebutuhan Anak untuk Memperoleh Pendidikan
a. Aspek Paedagogis
Dalam aspek ini, para ahli didik memandang manusia sebagai animal educandum; makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan, sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik. Sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser artinya latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis tidak berubah. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kea rah yang diciptakan setaraf dengan kemmpuan yang dimilikinya.
Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi. Apabila potensi tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang menandai secara pisik-psikis dan mental.
b. Aspek Sosiologis dan Kultural
Menurut ahli sosiologi, pada prinsipnya manusia adalah moscius, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau yang memiliki garizah (insting) untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk social, manusia haurus memiliki rasa tanggung jawab social (social responability) yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik (interelasi) dan saling pengaruh mempengaruhi antara sesame anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka.
c. Aspek Tauhid
Aspek tauhid ini ialah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, yang menurut istilah ahli disebut homodivisnous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau beragama adalah di dalam jiwa manusia terdapat insting yang disebut insting religious atau garizah diniyah (insting percaya pada agama). Itulah sebabnya, tanpa melalui proses pendidikan insting religious atau garizah diniyah tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar. Dengan demikian, pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting religious atau garizah diniyah tersebut.
Menurut Al-Ghazali, anak adalah amanah Allah dan harus dijaga dan di didik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang dilahirkan ke dunia ini, bagaikan sebuah mutira yang belum diukur dan belum berbentuk, tetapi amat bernilai tinggi. Maka kedua orang tuanyalah yang akan mengukir dan membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan disenangi semua orang. Maka ketergantungan anak kepadfa pendidiknya termasuk kepada kedua orang tuanya, tampak sekali. Ketergantungan ini hendaknya dikurangi secara bertahap sampai akil balig.

KESIMPULAN
Terdapat beberapa istilah atau sebutan bagi orang yang di didik, yaitu peserta didik, anak didik, atau murid. Yang ketiganya memiliki perbedaan. Tapi pada intinya peserta didik memiliki kedudukan yang penting dalam proses pendidikan. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai subjek pembinaan. Oleh karena itu peserta didik merupakan kunci yang menentukan terjadinya interaksi edukatif.
Pada kenyataannya, peserta didik memiliki kepribadian atau sifat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, para pendidik dalam mengajar harus memperhatikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anak didiknya tersebut. Baik dari segi latar belakang genetis, ekonomi, sosial-budaya ataupun keyakinan dalam beragamanya. Selain itu, pendidik juga harus memerhatikan kebutuhan peserta didiknya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab pembahasan.
Adapun dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan yaitu terbagi ke dalam tiga aspek ( aspek Paedagogis, aspek sosiologis – cultural, dan aspek tauhid ).

About apriansyah46

Apapun yang terjadi pada anda esok hari itu karena apa yang anda lakukan hari ini.

Tinggalkan komentar